Saturday, June 6, 2009
Berlari menuju bulan purnama
"Recca! Recca!" Panggilku. Gema teriakanku terdengar memekikan telinga. Aku berlari, bahkan ke sudut-sudut gua, berusaha mencari-cari Recca.
Beberapa menit berlalu. Recca tak dapat kutemukan.
"Sepertinya Recca tidak ada di sini. Kalau ada, dia pasti sudah menjawab panggilanmu," Suran akhirnya buka suara.
"Kalau tidak ada di sini, dimana dia? Kemana dia pergi? Kemana?" tanyaku, emosi mulai menguasai diriku.
"Aku... Tidak tahu. Yang bisa kurasakan dari tempat ini hanyalah sisa-sisa sihir pemanggil. Ini diluar batas kemampuanku. Kita membutuhkan Lidus. Kau harus tenang dulu. Kita harus mencari Lidus."
"Suran, aku tak ada waktu untuk menunggu. Recca masih bayi. Dia masih kecil dan sekarang dia menghilang. Bagaimana mungkin aku bisa tenang? Dia sangat berarti bagiku!"
"Recca tidak hanya penting bagimu. Dia juga penting untuk Lidus. Ingat? Lidus mengobarkan banyak kekuatannya untuk menenangkan Recca waktu itu. Apakah kau bisa tenang sedikit? Recca pasti baik-baik saja. Ayo kita pergi.." kata Suran dengan tegas.
Dengan sangat berat hati, aku mengikuti Suran keluar dari gua. Suran setengah berlari menuruni lereng menuju desa.
"Bagaimana kita mencari Lidus? Kamu tahu di mana dia?" tanyaku sambil berlari mengikuti Suran.
"Entahlah... Dalam mimpiku, ada bulan purnama di daerah Hutan Selatan. Mungkin Lidus ada di sana..." jawab Suran, tanpa memperlambat langkahnya sedikit pun.
"Hah? Apa hubungan Lidus dan bulan purnama? Manusia serigala adalah simbol kepercayaan suku Lidus. Pada bulan purnama, kekuatan mereka berada pada puncaknya. Dan Lidus... Dia adalah yang terkuat di suku mereka. Dialah bulan purnama di sukunya."
Aku mengeryit. Menurutku, ini sama sekali tak masuk akal. Sungguh aneh. Tapi toh akhirnya aku tetap berlari mengikuti Suran. Buatku, yang penting Recca bisa ditemukan. Harus..
Sunday, May 31, 2009
The Lizard... I Mean, Dragon
Namun bayangan itu berhenti membesar saat kira-kira setinggi lututku, dan cahaya itu mulai meredup. Aku meremas tangan Cecilia dan Riley, hatiku berdebar-debar tak karuan. Apa yang sudah kami lakukan?
Tak lama kemudian kami bisa melihat makhluk itu dengan jelas. Berwarna kuning keemasan dengan sepasang kumis kucing dan moncong panjang, namun dengan tubuh jauh lebih kecil daripada yang kami kira tadi, makhluk itu lebih kelihatan seperti kadal atau cicak daripada naga. Wajahnya sih seperti naga, keagungan di matanya seperti naga yang sering digambarkan di buku-buku, tapi ukurannya sama seperti Mushu, naganya Mulan.
Inikah Recca, makhluk dari matahari itu?
Riley yang pertama kali buka mulut. "Hai," sapanya kaku sambil melambaikan tangan. "Siapa kamu?" Entah kenapa di antara kami tidak ada yang mempertanyakan apakah makhluk itu bisa bicara. Sepertinya logis untuk menganggapnya sepintar itu.
Dugaan kami tidak salah. Naga/kadal itu mendengus, lalu berkata, "Bukankah kalian yang memanggilku? Tentu saja aku Recca. Tidakkah kamu membaca buku itu sebelum membaca mantranya? Gadis-gadis bodoh," dengusnya lagi.
Aku bertukar pandang dengan Riley dan Cecilia. Untuk seekor kadal, Recca punya rasa percaya diri yang tinggi. Ini akan jadi menarik.
Wednesday, April 15, 2009
Ramalan dimulai
"Apa kamu yakin mau mencoba ke puncak, Rovi?" tanya Suran begitu kami mulai memasuki hutan.
"Ya. Hanya untuk jaga-jaga saja. Mungkin memang sudah waktunya aku menengok Recca. Kenapa, Suran?" kataku sambil tetap berjalan mendaki dengan hati-hati.
"Ng.... Aku hanya merasa sedikit merinding," jawab Suran sedikit meringis.
"Tenang saja, aku kan bisa sedikit bela diri. Hehehe..." balasku, nyengir.
Suasana menjadi hening sejenak sementara tanah kian menanjak. Kami berdua dengan sangat berhati-hati terus melangkah masuk. Suasana begitu sunyi.
"Ngomong-ngomong, Lidus ada dimana?" tanyak sambil mengingat-ingat penyihir muda dari suku yang berkerabat dekat dengan suku Suran itu.
"Sepertinya dia masih bertapa. Dia kehilangan cukup banyak kekuatan untuk menjinakan Recca waktu itu. Apa kamu lupa?" Suran menjawab sambil memandang wajahku sejenak, lalu kembali ke jalan.
Suasana kembali hening. Kami terus melangkah menuju puncak. Gua di puncak sudah kelihatan, membuat perasaanku menjadi sedikit lega.
"Rovi......." tiba-tiba Suran mendesah.
"Ya?"
"Perasaaku tidak enak." Aku langsung menoleh, menatap Suran yang tiba-tiba terdiam. Aku berbalik, memandang wajah Suran yang diam membeku.
"Apa maks..."
Aku tak bisa melanjutkan. Aku berdiri membeku. Kurasakan cahaya menyengat di punggungku. Menyilaukan.
"Ada cahaya datang dari puncak."
Kata-kata Suran segera menyadarkanku. Aku segera bebalik, berlari secepat yang kubisa ke puncak, gua tempat seharusnya Recca berada. Aku bisa mendengar langkah kaki terburu-buru yang berusaha mengikuti langkahku.
Semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Recca, batinku.
Tuesday, April 14, 2009
Between the Lines
"Gimana, Ceci?" tanya Riley sambil membuka bungkus kue dan mengulurkannya pada Ceci.
Ceci menolak kue itu, tapi kemudian menatap kami yang duduk di kiri-kanannya, satu tangan mengelus lehernya. Kayaknya sudah kaku, menunduk terus dari tadi. "Bacanya susah, banyak kata-kata yg ilang. Lagian aku enggak sejago itu nerjemahin bahasa kuno. Tapi intinya buku ini gini:
Di jaman dulu (aku enggak yakin kapan, pastinya setelah masa Cleopatra) ada beberapa orang terpilih yang punya kekuatan sihir. Tentunya mereka merahasiakan itu, karena kalau enggak mereka bisa dianggap melawan para dewa. Nah, di sini ceritanya ada tiga orang cewek yang punya kekuatan itu. Mereka punya peran beda-beda, tapi tulisannya kurang jelas di sini. Salah satunya namanya Rovi, dan dia ini punya seekor naga."
"Naga?" potongku. "Memangnya di Mesir ada naga? Bukannya adanya Sphinx?"
"Mana aku tahu?" Ceci angkat bahu. "Tulisannya gitu." Dia membalik satu halaman lagi, keningnya berkerut lagi. Lama-lama dia bakal keriput kalau serius begitu terus. "Aku baru tahu segitu, soalnya setelah itu halamannya buram. Anehnya, ada satu paragraf yang sangat jelas, dan sangat mudah dimengerti."
Ceci menunjuk lima deret gambar dengan tinta emas, bersinar seperti baru dituliskan di atas kertas yang sudah lapuk itu. Aku merinding, entah kenapa merasa tegang. Mata Riley menangkap mataku, dan aku yakin dia merasakan getaran yang sama.
"Apa bunyinya?" tanya Riley.
Ceci ragu, tapi kemudian dia membacanya keras-keras.
"In the times of need
One will be destined to find
This book and then read
This spell to call the one
who belongs to the sun."
Segera setelah Ceci menutup mulut, kami mendengar suara berderak yang membuat kami bertiga terlonjak. Entah karena Ceci menjatuhkannya atau apa, buku itu terlempar ke lantai, dan kami otomatis berdiri menjauh. Angin kencang mendadak bertiup, padahal semua jendela dan pintu kamarku tertutup rapat. Aku mencengkeram tangan Ceci, tegang, dan kami bertiga bergandengan, menatap buku itu dengan cemas.
Buku itu nampak bercahaya, seolah-olah matahari bersinar dari dalamnya. Apa yang telah kami lakukan? Tadi itu mantra bukan? To call the one who belongs to the sun. Apa yang kami panggil? Recca, tadi judulnya bilang begitu. Tapi siapa Recca itu?
Atau apa?
Wednesday, March 25, 2009
Mimpi
Panggilan itu kudengar sepanjang siang dan sore. Selalu saja ada yang dilontarkan Suran. Kupandi saja wajahnya disela-sela memotong sayur untuk menu makan malam. Dia dengan riangnya membantu memotong-motong sayur, meskipun potongan-potongannya jelek sekali. Yah, mungkin aku bisa mengerti. Di desanya, Suran bertugas sebagai pendeta. Dia membantu dalam bidang ramal meramal, mitos-mitos, dll. Desa Suran berada tak terlalu jauh dari desaku, tapi dia jarang menampakan diri diluar lingkungannya sendiri.
"Kenapa tiba-tiba kamu datang ke sini? Tidak biasanya kamu pergi meninggalkan desa." tanyaku, akhirnya memulai pembicaraan.
Suran tertawa sejenak, kemudian menjawab, " Sesekali, aku perlu turun gunung juga kan."
Aku mengeryit sejenak, lalu mendengus. "Yakin cuma itu alasannya?"
"Memangnya menurutmu ada alasan lain?" ujarnya, balas bertanya dengan pandangan mata lurus menatapku.
"Entahlah.."
Untuk beberapa saat, yang terdengar hanya suara pisau menyentuh kayu tatakan. Sinar matahari sore yang masuk dari jendela dibelakangku sedikit menyengat punggungku. Mungkin sudah saatnya menutup tirai jende...
"Rovi, bagaimana keadaan Recca? Apa dia baik-baik saja?"
Aku menoleh dan kupandangi Suran yang masih menunduk memotongi sayur.
"Sejujurnya, aku belum mengunjungi beberapa hari ini. Aku begitu sibuk membantu ayah dan ibu. Memangnya ada sesuatu yang kau khawatirkan?"
"Umm..." Suran mendesah sejenak. "Entahlah Rovi. Tiba-tiba aku mendapat firasat tidak enak."
"Maksudmu?"
"Beberapa malam ini, aku bermimpi tentang gerhana matahari. Yang membuat firasatku tidak enak, entah kenapa aku melihatmu berdiri di tengah-tengah sungai dan tepat dibawah gerhana itu. Aku sama sekali tidak tenang."
"Lalu apa hubungannya dengan Recca?"
Akhirnya Suran mengakat wajahnya dari sayurnya dan memandangku lekat-lekat. "Karena di dalam gerhana itu, aku dapat melihat siluet Recca."
Tuesday, March 24, 2009
Creature of the Sun
“Ayolah Ceci, pleaseeee?”
Riley memasang wajah memelasnya, dan aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Cecilia menatapnya dengan ekspresi campur aduk: jengkel, pingin ketawa, dan ragu-ragu.
“Apa kamu enggak pingin tahu? Mungkin aja buku itu bercerita tentang peradaban yang sudah lama hilang. Siapa tahu kita nanti bisa membaca isinya, lalu kita jadi terkenal!” Mata Riley berbinar-binar. Digenggamnya siku Ceci lalu diguncangnya dengan penuh semangat. “Ayolah. Please please please…”
“Oke, oke!” Ceci mengangkat tangan sambil tertawa, “Tapi aku enggak janji aku bisa bantu.”
Aku tersenyum sambil mengulurkan sepasang sarung tangan plastik padanya. “Gapapa lah. Bagaimana pun juga, kamu tetap lebih tahu daripada aku.”
Ceci meraih sarung tangan itu sambil tersenyum ragu, tatapannya bergerak ke arah buku tersebut, yang tergeletak di tengah-tengah kami bertiga. Aku sudah mengambilnya dari basement, sadar bahwa Ceci akan lebih mudah dirayu kalau barangnya ada di depan mata. Dan benar saja. Walaupun dia tidak bergerak untuk menyentuhnya, matanya sulit lepas dari buku tua itu.
Tanpa diminta, Riley juga memasang sarung tangan bagiannya dengan sedikit kesulitan (kami berdua tidak sefamiliar Ceci dengan sarung tangan dan buku-buku tua) dan segera mengulurkan tangan untuk mulai membuka buku itu. Namun Ceci dengan cepat menampar tangannya menjauh.
“Bentar dong, Ri, aku kan masih mau baca judulnya,” tegurnya. Riley memasang tampang terluka sambil memegangi tangannya, tapi dia tidak membantah. Dia bergeser lebih dekat ke aku, memberi Ceci ruang untuk membaca.
Ceci menunduk, matanya menyipit saat dia mempelajari simbol-simbol aneh yang tertera di halaman depan buku itu. “Aneh,” gumamnya, keningnya berkerut. “Kalo melihat tulisannya, harusnya pada jaman itu belum ada kertas. Tapi ini bentuknya sudah buku. Aneh…”
Riley dan aku bertukar pandang, tidak tahu harus komentar apa. Tetapi kayaknya Cecilia tidak mengharapkan komentar. Dia mendorong poninya menjauhi mata dan meneruskan memelototi judul tersebut. Cuma ada satu baris, eh, kalimat di sampul kulit buku itu, tapi melihat dari gaya Cecilia, bisa jadi satu baris itu sama dengan satu paragraf. Atau mungkin juga dia cuma ragu-ragu tentang artinya.
“Gimana?” tanya Riley, kelihatan jelas sudah enggak sabar lagi untuk membaca isinya.
Cecilia mengangkat kepala untuk menatap kami. Dia masih kelihatan ragu, namun suaranya terdengar lebih optimis saat dia bicara. “Aku enggak tahu arti tepatnya, tapi kira-kira ini artinya Recca, Creature of the Sun.”
Monday, March 23, 2009
Awal Masalah
Setelah berdiam diri sejenak, aku bangkit, mengambil keranjang cucianku, dan melangkah ke jalan setapak menuju desaku. Sesekali kupegangi rambutku, memastikan kalau rambutku sudah lebih baik dari tadi pagi. Aku sudah mengoleskan krim mujarab warisan keluargaku. Seharusnya kondisi rambutku sudah membaik.
Perjalanan itu hanya memakan waktu sebentar. Hanya dalam sekejap, aku bisa melihat pemandangan desa. Pemandangan yang tenang, dengan rutinitas yang diulang terus-menerus. Suasana tenang....
Drap-drap-drap
Aku langsung merngarahkan pandanganku ke sumber bunyi itu. Disana sedang berlari sesosok wanita berkulit coklat, sedikit kemerahan dengan mata coklat dan rambut hitam lurus. Wajahnya menyungingkan senyum lebar-lebar.
"Rovi!" teriaknya.
Badai datang, batinku.
Sunday, March 22, 2009
Of Cecilia and Riley
Sebetulnya aku berencana menunggu sampai Mama pulang sebelum menunjukkan buku itu pada Cecilia ataupun Riley, tapi aku jadi gelisah. Curiosity killed the cat, they say. Dan aku benar-benar penasaran.
Setelah berdebat panjang dengan diriku sendiri, aku meraih handphoneku dan mulai mengetik.
Ada waktu ga? Ke rumahku bentar bisa ga? Ada yg mau kutanyain…
Kukirimkan SMS itu ke Cecilia dan Riley, lalu aku duduk di tepi ranjangku sambil menunggu balasannya. Kucoba untuk membaca, mengalihkan pikiran dari buku misterius itu, tapi pikiranku terus melayang kembali ke sana. Aku duduk di depan laptopku, menyalakan internet dengan maksud mengecek Facebook, tapi malah membuka Google. Ancient Egypt, ketikku di dalam search box, enggak yakin apa yang bakal kutemukan. Mungkin seharusnya aku menunggu Cecilia saja – dia bakal lebih informatif daripada bacaan apapun yang bisa kutemukan di sini – tapi aku perlu melakukan sesuatu sambil menunggu. Aku enggak pingin turun ke basement sendirian, dan enggak yakin aku seharusnya kembali ke sana lagi.
Handphoneku berdering tepat saat Google mulai menampilkan hasil pencariannya. Aku menyambarnya dengan penuh harap. Riley yang membalas.
Tgg bentar. Aq di rumah Ceci.
Tanpa sadar aku menarik nafas lega, rasa gelisahku mulai berkurang. Jarak dari rumah Ceci ke rumahku cuma sepuluh menit, enggak lama.
Aku mencoba membayangkan reaksi mereka saat mendengar ceritaku. Riley akan menjadi bersemangat dan ingin cepat-cepat melihat buku itu. Mungkin akan jadi sedikit ketakutan kalau Ceci mulai bicara soal kutukan-kutukan Mesir kuno, yang aku yakin bakal dilakukan olehnya. Aku tersenyum sendiri, membayangkan Ceci menakut-nakuti Riley.
Cecilia bakal ragu-ragu, khawatir kami seharusnya minta ijin dulu atau bahwa buku itu berbahaya (kadang-kadang imajinasinya lebih aneh-aneh daripada Riley; efek samping tahu banyak tentang sejarah yang penuh sihir dan mitos). Namun, seperti biasa, aku dan Riley bakal cukup persuasif untuk mengubah pendiriannya.
Aku mematikan internet dan laptopku, lalu bergerak untuk mengambil senter dan sarung tangan. Kalau kami akan kembali mencari buku itu, lebih baik bersiap-siap.
Thursday, March 19, 2009
Pagi yang Mengejutkan
Dengan sekuat tenaga aku menahan selimutku tetap menutupi wajahku yang masih sangat mengantuk.
"ROVI!!!!!!!!!!!" teriak Ibu sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Pikiran inginnya bangun, tapi badan terlalu lelah. Kemarin sepanjang hari aku membantu Ibu, mulai dari memasak, membantu membawakan makanan ayah ke ladang, sampai mencuci baju di sungai Nil. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya itulah rutinitasku setiap hari...
"ROVI!!! Bangun! Anak gadis jangan bangun siang-siang! Cepat bangun atau Ibu akan membuang Recca," ancam Ibu yang langsung mempan.
Aku langsung terduduk di tempat tidurku. Aku langsung membuka mataku lebar-lebar dan tersenyum semanis yang kubisa.
"Senyummu jelek sekali Rovi. Cepat mandi dan rapikan dirimu. Ibu tunggu di dapur," perintah Ibu.
Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil mengawasi Ibu berjalan keluar dari pintu. Begitu aku melihat Ibu berbelok di depan pintu kamarku, aku hendak merebahkan badanku lagi di kasur. Rasanya masih mengantuk...
"Rovi! Jangan coba-coba tidur lagi!"
"Baik, Ibu.." jawabku, menyerah.
Dengan berat hati aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan menuju lemari pakaian. Di kaca yang terletak pada pintu lemari itu, wajah coklat kebangaanku tampak kusam. Rambutku yang keriting...
"Tidak... Aku harus segera mencari minyak rambut baru! Rambutku... Rambutku bertambah keriting! Apa-apaan ini? Kenapa rambutku jadi kering? Tidak!" aku memekik.
Gawat. Rambut hitam kebangaanku semakin aneh. Sepertinya aku memang harus segera mandi dan merapikan diri. Bukan untuk Recca, juga bukan untuk Ibu, tapi demi rambutku yang sudah berantakan. Rambut adalah mahkota wanita...
"Rovi! Jangan teriak-teriak terus! Cepat mandi!" teriakan Ibu terdengar dari arah dapur.
"Iya, segera!" balasku.
Monday, March 16, 2009
The Beginning
Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat apa yang pernah diceritakan Cecilia tentang kebudayaan Mesir. Aku enggak bisa ingat satu pun. Aneh, padahal dia sudah cerita berkali-kali tentang itu. Dan aku juga biasanya mendengarkan. Yah, sudahlah, nanti toh aku bisa telepon dia. Orangtuanya kan arkeolog, mereka pasti bisa menerjemahkan buku ini.
Wajar kalau aku enggak pernah melihat buku ini, karena aku memang enggak suka turun ke ruangan ini. Aku enggak suka ruangan gelap-gelap, dan debunya minta ampun. Aku cuma ke bawah sini karena mau mencari buku-buku pelajaran lamaku yang sudah disimpan di sini. Tapi sejak kapan orangtuaku tertarik pada kebudayaan Mesir? Nonton National Geographic aja enggak pernah. Lagi pula, mana mungkin Mama – orang paling rapi di rumah ini – bakal membiarkan buku seantik ini tergeletak begitu saja di sini, di mana kemungkinan kutu buku bisa hidup?
Terdorong rasa penasaran, aku terus membaca, mengabaikan debu mulai berkumpul di ujung-ujung jariku. Di sana sini halamannya sudah mulai menipis, hampir sobek. Untuk kesekian kalinya, aku berharap aku seimajinatif Riley. Dia pasti bisa menyusun suatu cerita dari gambar-gambar ini. Buatku gambar-gambar ini sama sekali enggak nyambung, tidak peduli seberapa keras aku mengerahkan imajinasiku.
Ada beberapa gambar yang terus diulang-ulang: gambar seorang cewek dengan rambut hitam legam dan kulit coklat khas orang Mesir. Aku rasa dia tokoh utama buku ini, meskipun aku enggak yakin buku ini buku cerita. Ada juga gambar seekor binatang, tapi hampir semua gambarnya kabur, entah karena tertutup debu atau memang gambarnya tipis.
Karena mataku mulai berair gara-gara kurangnya cahaya, aku menutup buku itu dengan lembut. Untuk sesaat aku ragu. Haruskah aku meninggalkannya di sini? Sayang sekali rasanya, dan aku masih penasaran ini. Mama sedang pergi, dan Vanya juga enggak di rumah. Enggak ada salahnya kalau aku bawa ini ke kamar. Lagipula aku mau menunjukkannya pada Cecilia dan Riley. Kalau buku ini ditaruh di sini, harusnya tidak ada artinya lagi buat Mama kan?
Ya, kurasa enggak akan ada yang keberatan kalau aku pinjam sebentar.