"Rovi! Rovi! Rovi! Rovi!"
Panggilan itu kudengar sepanjang siang dan sore. Selalu saja ada yang dilontarkan Suran. Kupandi saja wajahnya disela-sela memotong sayur untuk menu makan malam. Dia dengan riangnya membantu memotong-motong sayur, meskipun potongan-potongannya jelek sekali. Yah, mungkin aku bisa mengerti. Di desanya, Suran bertugas sebagai pendeta. Dia membantu dalam bidang ramal meramal, mitos-mitos, dll. Desa Suran berada tak terlalu jauh dari desaku, tapi dia jarang menampakan diri diluar lingkungannya sendiri.
"Kenapa tiba-tiba kamu datang ke sini? Tidak biasanya kamu pergi meninggalkan desa." tanyaku, akhirnya memulai pembicaraan.
Suran tertawa sejenak, kemudian menjawab, " Sesekali, aku perlu turun gunung juga kan."
Aku mengeryit sejenak, lalu mendengus. "Yakin cuma itu alasannya?"
"Memangnya menurutmu ada alasan lain?" ujarnya, balas bertanya dengan pandangan mata lurus menatapku.
"Entahlah.."
Untuk beberapa saat, yang terdengar hanya suara pisau menyentuh kayu tatakan. Sinar matahari sore yang masuk dari jendela dibelakangku sedikit menyengat punggungku. Mungkin sudah saatnya menutup tirai jende...
"Rovi, bagaimana keadaan Recca? Apa dia baik-baik saja?"
Aku menoleh dan kupandangi Suran yang masih menunduk memotongi sayur.
"Sejujurnya, aku belum mengunjungi beberapa hari ini. Aku begitu sibuk membantu ayah dan ibu. Memangnya ada sesuatu yang kau khawatirkan?"
"Umm..." Suran mendesah sejenak. "Entahlah Rovi. Tiba-tiba aku mendapat firasat tidak enak."
"Maksudmu?"
"Beberapa malam ini, aku bermimpi tentang gerhana matahari. Yang membuat firasatku tidak enak, entah kenapa aku melihatmu berdiri di tengah-tengah sungai dan tepat dibawah gerhana itu. Aku sama sekali tidak tenang."
"Lalu apa hubungannya dengan Recca?"
Akhirnya Suran mengakat wajahnya dari sayurnya dan memandangku lekat-lekat. "Karena di dalam gerhana itu, aku dapat melihat siluet Recca."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment