"Rovi, bangun! Matahari sudah tinggi! Bangun! Bantu Ibu, Rovi! Cepat!" teriak Ibu sambil berusaha menarik selimut yang menutupi wajahku.
Dengan sekuat tenaga aku menahan selimutku tetap menutupi wajahku yang masih sangat mengantuk.
"ROVI!!!!!!!!!!!" teriak Ibu sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Pikiran inginnya bangun, tapi badan terlalu lelah. Kemarin sepanjang hari aku membantu Ibu, mulai dari memasak, membantu membawakan makanan ayah ke ladang, sampai mencuci baju di sungai Nil. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya itulah rutinitasku setiap hari...
"ROVI!!! Bangun! Anak gadis jangan bangun siang-siang! Cepat bangun atau Ibu akan membuang Recca," ancam Ibu yang langsung mempan.
Aku langsung terduduk di tempat tidurku. Aku langsung membuka mataku lebar-lebar dan tersenyum semanis yang kubisa.
"Senyummu jelek sekali Rovi. Cepat mandi dan rapikan dirimu. Ibu tunggu di dapur," perintah Ibu.
Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil mengawasi Ibu berjalan keluar dari pintu. Begitu aku melihat Ibu berbelok di depan pintu kamarku, aku hendak merebahkan badanku lagi di kasur. Rasanya masih mengantuk...
"Rovi! Jangan coba-coba tidur lagi!"
"Baik, Ibu.." jawabku, menyerah.
Dengan berat hati aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan menuju lemari pakaian. Di kaca yang terletak pada pintu lemari itu, wajah coklat kebangaanku tampak kusam. Rambutku yang keriting...
"Tidak... Aku harus segera mencari minyak rambut baru! Rambutku... Rambutku bertambah keriting! Apa-apaan ini? Kenapa rambutku jadi kering? Tidak!" aku memekik.
Gawat. Rambut hitam kebangaanku semakin aneh. Sepertinya aku memang harus segera mandi dan merapikan diri. Bukan untuk Recca, juga bukan untuk Ibu, tapi demi rambutku yang sudah berantakan. Rambut adalah mahkota wanita...
"Rovi! Jangan teriak-teriak terus! Cepat mandi!" teriakan Ibu terdengar dari arah dapur.
"Iya, segera!" balasku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment