Monday, March 16, 2009

The Beginning

Buku itu tanpa judul. Sampul kulit keemasan yang membungkusnya sudah mengelupas, halaman-halamannya juga sudah kuning termakan usia. Aku membalik-baliknya dengan hati-hati – takut buku itu akan hancur jadi debu kalau aku terlalu kasar – bertanya-tanya kenapa buku setua ini ada di ruang bawah tanah rumahku. Bahkan dengan penerangan payah ruangan ini dan tanpa kacamata, aku bisa melihat bahwa tidak ada satu abjad pun di dalam buku ini, yang ada hanya sederet gambar-gambar yang biasa ada di dinding-dinding piramida, seperti di film-film. Apa namanya? Pictograph?

Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat apa yang pernah diceritakan Cecilia tentang kebudayaan Mesir. Aku enggak bisa ingat satu pun. Aneh, padahal dia sudah cerita berkali-kali tentang itu. Dan aku juga biasanya mendengarkan. Yah, sudahlah, nanti toh aku bisa telepon dia. Orangtuanya kan arkeolog, mereka pasti bisa menerjemahkan buku ini.

Wajar kalau aku enggak pernah melihat buku ini, karena aku memang enggak suka turun ke ruangan ini. Aku enggak suka ruangan gelap-gelap, dan debunya minta ampun. Aku cuma ke bawah sini karena mau mencari buku-buku pelajaran lamaku yang sudah disimpan di sini. Tapi sejak kapan orangtuaku tertarik pada kebudayaan Mesir? Nonton National Geographic aja enggak pernah. Lagi pula, mana mungkin Mama – orang paling rapi di rumah ini – bakal membiarkan buku seantik ini tergeletak begitu saja di sini, di mana kemungkinan kutu buku bisa hidup?

Terdorong rasa penasaran, aku terus membaca, mengabaikan debu mulai berkumpul di ujung-ujung jariku. Di sana sini halamannya sudah mulai menipis, hampir sobek. Untuk kesekian kalinya, aku berharap aku seimajinatif Riley. Dia pasti bisa menyusun suatu cerita dari gambar-gambar ini. Buatku gambar-gambar ini sama sekali enggak nyambung, tidak peduli seberapa keras aku mengerahkan imajinasiku.

Ada beberapa gambar yang terus diulang-ulang: gambar seorang cewek dengan rambut hitam legam dan kulit coklat khas orang Mesir. Aku rasa dia tokoh utama buku ini, meskipun aku enggak yakin buku ini buku cerita. Ada juga gambar seekor binatang, tapi hampir semua gambarnya kabur, entah karena tertutup debu atau memang gambarnya tipis.

Karena mataku mulai berair gara-gara kurangnya cahaya, aku menutup buku itu dengan lembut. Untuk sesaat aku ragu. Haruskah aku meninggalkannya di sini? Sayang sekali rasanya, dan aku masih penasaran ini. Mama sedang pergi, dan Vanya juga enggak di rumah. Enggak ada salahnya kalau aku bawa ini ke kamar. Lagipula aku mau menunjukkannya pada Cecilia dan Riley. Kalau buku ini ditaruh di sini, harusnya tidak ada artinya lagi buat Mama kan?

Ya, kurasa enggak akan ada yang keberatan kalau aku pinjam sebentar.

No comments:

Post a Comment