Tuesday, April 14, 2009

Between the Lines

Setelah berhasil menerjemahkan judul, Cecilia membalik-balik halaman buku itu dengan hati-hati, keningnya berkerut. Riley mengumumkan kalau dia lapar, jadi kusuruh dia mengambil kotak snack yang ada di meja makan buat kami bertiga. Dia kembali sesaat kemudian, tapi Cecilia bahkan tidak mengangkat kepala dari buku itu.

"Gimana, Ceci?" tanya Riley sambil membuka bungkus kue dan mengulurkannya pada Ceci.

Ceci menolak kue itu, tapi kemudian menatap kami yang duduk di kiri-kanannya, satu tangan mengelus lehernya. Kayaknya sudah kaku, menunduk terus dari tadi. "Bacanya susah, banyak kata-kata yg ilang. Lagian aku enggak sejago itu nerjemahin bahasa kuno. Tapi intinya buku ini gini:

Di jaman dulu (aku enggak yakin kapan, pastinya setelah masa Cleopatra) ada beberapa orang terpilih yang punya kekuatan sihir. Tentunya mereka merahasiakan itu, karena kalau enggak mereka bisa dianggap melawan para dewa. Nah, di sini ceritanya ada tiga orang cewek yang punya kekuatan itu. Mereka punya peran beda-beda, tapi tulisannya kurang jelas di sini. Salah satunya namanya Rovi, dan dia ini punya seekor naga."

"Naga?" potongku. "Memangnya di Mesir ada naga? Bukannya adanya Sphinx?"

"Mana aku tahu?" Ceci angkat bahu. "Tulisannya gitu." Dia membalik satu halaman lagi, keningnya berkerut lagi. Lama-lama dia bakal keriput kalau serius begitu terus. "Aku baru tahu segitu, soalnya setelah itu halamannya buram. Anehnya, ada satu paragraf yang sangat jelas, dan sangat mudah dimengerti."

Ceci menunjuk lima deret gambar dengan tinta emas, bersinar seperti baru dituliskan di atas kertas yang sudah lapuk itu. Aku merinding, entah kenapa merasa tegang. Mata Riley menangkap mataku, dan aku yakin dia merasakan getaran yang sama.

"Apa bunyinya?" tanya Riley.

Ceci ragu, tapi kemudian dia membacanya keras-keras.

"In the times of need
One will be destined to find
This book and then read
This spell to call the one
who belongs to the sun."

Segera setelah Ceci menutup mulut, kami mendengar suara berderak yang membuat kami bertiga terlonjak. Entah karena Ceci menjatuhkannya atau apa, buku itu terlempar ke lantai, dan kami otomatis berdiri menjauh. Angin kencang mendadak bertiup, padahal semua jendela dan pintu kamarku tertutup rapat. Aku mencengkeram tangan Ceci, tegang, dan kami bertiga bergandengan, menatap buku itu dengan cemas.

Buku itu nampak bercahaya, seolah-olah matahari bersinar dari dalamnya. Apa yang telah kami lakukan? Tadi itu mantra bukan? To call the one who belongs to the sun. Apa yang kami panggil? Recca, tadi judulnya bilang begitu. Tapi siapa Recca itu?

Atau apa?

No comments:

Post a Comment