Seusai makan malam, aku dan Suran bergegas menyelinap mengambil mantel dan lampu minyak, lalu keluar rumah. Aku segera melangkah menuju hutan diikuti Suran.
"Apa kamu yakin mau mencoba ke puncak, Rovi?" tanya Suran begitu kami mulai memasuki hutan.
"Ya. Hanya untuk jaga-jaga saja. Mungkin memang sudah waktunya aku menengok Recca. Kenapa, Suran?" kataku sambil tetap berjalan mendaki dengan hati-hati.
"Ng.... Aku hanya merasa sedikit merinding," jawab Suran sedikit meringis.
"Tenang saja, aku kan bisa sedikit bela diri. Hehehe..." balasku, nyengir.
Suasana menjadi hening sejenak sementara tanah kian menanjak. Kami berdua dengan sangat berhati-hati terus melangkah masuk. Suasana begitu sunyi.
"Ngomong-ngomong, Lidus ada dimana?" tanyak sambil mengingat-ingat penyihir muda dari suku yang berkerabat dekat dengan suku Suran itu.
"Sepertinya dia masih bertapa. Dia kehilangan cukup banyak kekuatan untuk menjinakan Recca waktu itu. Apa kamu lupa?" Suran menjawab sambil memandang wajahku sejenak, lalu kembali ke jalan.
Suasana kembali hening. Kami terus melangkah menuju puncak. Gua di puncak sudah kelihatan, membuat perasaanku menjadi sedikit lega.
"Rovi......." tiba-tiba Suran mendesah.
"Ya?"
"Perasaaku tidak enak." Aku langsung menoleh, menatap Suran yang tiba-tiba terdiam. Aku berbalik, memandang wajah Suran yang diam membeku.
"Apa maks..."
Aku tak bisa melanjutkan. Aku berdiri membeku. Kurasakan cahaya menyengat di punggungku. Menyilaukan.
"Ada cahaya datang dari puncak."
Kata-kata Suran segera menyadarkanku. Aku segera bebalik, berlari secepat yang kubisa ke puncak, gua tempat seharusnya Recca berada. Aku bisa mendengar langkah kaki terburu-buru yang berusaha mengikuti langkahku.
Semoga saja tidak terjadi sesuatu pada Recca, batinku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment