Wednesday, March 25, 2009

Mimpi

"Rovi! Rovi! Rovi! Rovi!"

Panggilan itu kudengar sepanjang siang dan sore. Selalu saja ada yang dilontarkan Suran. Kupandi saja wajahnya disela-sela memotong sayur untuk menu makan malam. Dia dengan riangnya membantu memotong-motong sayur, meskipun potongan-potongannya jelek sekali. Yah, mungkin aku bisa mengerti. Di desanya, Suran bertugas sebagai pendeta. Dia membantu dalam bidang ramal meramal, mitos-mitos, dll. Desa Suran berada tak terlalu jauh dari desaku, tapi dia jarang menampakan diri diluar lingkungannya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba kamu datang ke sini? Tidak biasanya kamu pergi meninggalkan desa." tanyaku, akhirnya memulai pembicaraan.

Suran tertawa sejenak, kemudian menjawab, " Sesekali, aku perlu turun gunung juga kan."

Aku mengeryit sejenak, lalu mendengus. "Yakin cuma itu alasannya?"

"Memangnya menurutmu ada alasan lain?" ujarnya, balas bertanya dengan pandangan mata lurus menatapku.

"Entahlah.."

Untuk beberapa saat, yang terdengar hanya suara pisau menyentuh kayu tatakan. Sinar matahari sore yang masuk dari jendela dibelakangku sedikit menyengat punggungku. Mungkin sudah saatnya menutup tirai jende...

"Rovi, bagaimana keadaan Recca? Apa dia baik-baik saja?"

Aku menoleh dan kupandangi Suran yang masih menunduk memotongi sayur.

"Sejujurnya, aku belum mengunjungi beberapa hari ini. Aku begitu sibuk membantu ayah dan ibu. Memangnya ada sesuatu yang kau khawatirkan?"

"Umm..." Suran mendesah sejenak. "Entahlah Rovi. Tiba-tiba aku mendapat firasat tidak enak."

"Maksudmu?"

"Beberapa malam ini, aku bermimpi tentang gerhana matahari. Yang membuat firasatku tidak enak, entah kenapa aku melihatmu berdiri di tengah-tengah sungai dan tepat dibawah gerhana itu. Aku sama sekali tidak tenang."

"Lalu apa hubungannya dengan Recca?"

Akhirnya Suran mengakat wajahnya dari sayurnya dan memandangku lekat-lekat. "Karena di dalam gerhana itu, aku dapat melihat siluet Recca."

Tuesday, March 24, 2009

Creature of the Sun

“Ayolah Ceci, pleaseeee?”

Riley memasang wajah memelasnya, dan aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Cecilia menatapnya dengan ekspresi campur aduk: jengkel, pingin ketawa, dan ragu-ragu.

“Apa kamu enggak pingin tahu? Mungkin aja buku itu bercerita tentang peradaban yang sudah lama hilang. Siapa tahu kita nanti bisa membaca isinya, lalu kita jadi terkenal!” Mata Riley berbinar-binar. Digenggamnya siku Ceci lalu diguncangnya dengan penuh semangat. “Ayolah. Please please please…”

“Oke, oke!” Ceci mengangkat tangan sambil tertawa, “Tapi aku enggak janji aku bisa bantu.”

Aku tersenyum sambil mengulurkan sepasang sarung tangan plastik padanya. “Gapapa lah. Bagaimana pun juga, kamu tetap lebih tahu daripada aku.”

Ceci meraih sarung tangan itu sambil tersenyum ragu, tatapannya bergerak ke arah buku tersebut, yang tergeletak di tengah-tengah kami bertiga. Aku sudah mengambilnya dari basement, sadar bahwa Ceci akan lebih mudah dirayu kalau barangnya ada di depan mata. Dan benar saja. Walaupun dia tidak bergerak untuk menyentuhnya, matanya sulit lepas dari buku tua itu.

Tanpa diminta, Riley juga memasang sarung tangan bagiannya dengan sedikit kesulitan (kami berdua tidak sefamiliar Ceci dengan sarung tangan dan buku-buku tua) dan segera mengulurkan tangan untuk mulai membuka buku itu. Namun Ceci dengan cepat menampar tangannya menjauh.

“Bentar dong, Ri, aku kan masih mau baca judulnya,” tegurnya. Riley memasang tampang terluka sambil memegangi tangannya, tapi dia tidak membantah. Dia bergeser lebih dekat ke aku, memberi Ceci ruang untuk membaca.

Ceci menunduk, matanya menyipit saat dia mempelajari simbol-simbol aneh yang tertera di halaman depan buku itu. “Aneh,” gumamnya, keningnya berkerut. “Kalo melihat tulisannya, harusnya pada jaman itu belum ada kertas. Tapi ini bentuknya sudah buku. Aneh…”

Riley dan aku bertukar pandang, tidak tahu harus komentar apa. Tetapi kayaknya Cecilia tidak mengharapkan komentar. Dia mendorong poninya menjauhi mata dan meneruskan memelototi judul tersebut. Cuma ada satu baris, eh, kalimat di sampul kulit buku itu, tapi melihat dari gaya Cecilia, bisa jadi satu baris itu sama dengan satu paragraf. Atau mungkin juga dia cuma ragu-ragu tentang artinya.

“Gimana?” tanya Riley, kelihatan jelas sudah enggak sabar lagi untuk membaca isinya.

Cecilia mengangkat kepala untuk menatap kami. Dia masih kelihatan ragu, namun suaranya terdengar lebih optimis saat dia bicara. “Aku enggak tahu arti tepatnya, tapi kira-kira ini artinya Recca, Creature of the Sun.”

Monday, March 23, 2009

Awal Masalah

Tepat tengah hari cucianku sudah selesai. Aku segera bangkit dan duduk di sebuah batu besar. Kupandangi pemandangan sekitar. Pohon-pohon hijau nampak subur yang membuatku bertanya-tanya bagaimana mereka bisa bertahan di cuaca yang sepanas ini.

Setelah berdiam diri sejenak, aku bangkit, mengambil keranjang cucianku, dan melangkah ke jalan setapak menuju desaku. Sesekali kupegangi rambutku, memastikan kalau rambutku sudah lebih baik dari tadi pagi. Aku sudah mengoleskan krim mujarab warisan keluargaku. Seharusnya kondisi rambutku sudah membaik.

Perjalanan itu hanya memakan waktu sebentar. Hanya dalam sekejap, aku bisa melihat pemandangan desa. Pemandangan yang tenang, dengan rutinitas yang diulang terus-menerus. Suasana tenang....

Drap-drap-drap

Aku langsung merngarahkan pandanganku ke sumber bunyi itu. Disana sedang berlari sesosok wanita berkulit coklat, sedikit kemerahan dengan mata coklat dan rambut hitam lurus. Wajahnya menyungingkan senyum lebar-lebar.

"Rovi!" teriaknya.

Badai datang, batinku.

Sunday, March 22, 2009

Of Cecilia and Riley

Sebetulnya aku berencana menunggu sampai Mama pulang sebelum menunjukkan buku itu pada Cecilia ataupun Riley, tapi aku jadi gelisah. Curiosity killed  the cat, they say. Dan aku benar-benar penasaran.

Setelah berdebat panjang dengan diriku sendiri, aku meraih handphoneku dan mulai mengetik.

Ada waktu ga? Ke rumahku bentar bisa ga? Ada yg mau kutanyain…

Kukirimkan SMS itu ke Cecilia dan Riley, lalu aku duduk di tepi ranjangku sambil menunggu balasannya. Kucoba untuk membaca, mengalihkan pikiran dari buku misterius itu, tapi pikiranku terus melayang kembali ke sana. Aku duduk di depan laptopku, menyalakan internet dengan maksud mengecek Facebook, tapi malah membuka Google. Ancient Egypt, ketikku di dalam search box, enggak yakin apa yang bakal kutemukan. Mungkin seharusnya aku menunggu Cecilia saja – dia bakal lebih informatif daripada bacaan apapun yang bisa kutemukan di sini – tapi aku perlu melakukan sesuatu sambil menunggu. Aku enggak pingin turun ke basement sendirian, dan enggak yakin aku seharusnya kembali ke sana lagi.

Handphoneku berdering tepat saat Google mulai menampilkan hasil pencariannya. Aku menyambarnya dengan penuh harap. Riley yang membalas.

Tgg bentar. Aq di rumah Ceci. 

Tanpa sadar aku menarik nafas lega, rasa gelisahku mulai berkurang. Jarak dari rumah Ceci ke rumahku cuma sepuluh menit, enggak lama.

Aku mencoba membayangkan reaksi mereka saat mendengar ceritaku. Riley akan menjadi bersemangat dan ingin cepat-cepat melihat buku itu. Mungkin akan jadi sedikit ketakutan kalau Ceci mulai bicara soal kutukan-kutukan Mesir kuno, yang aku yakin bakal dilakukan olehnya. Aku tersenyum sendiri, membayangkan Ceci menakut-nakuti Riley.

Cecilia bakal ragu-ragu, khawatir kami seharusnya minta ijin dulu atau bahwa buku itu berbahaya (kadang-kadang imajinasinya lebih aneh-aneh daripada Riley; efek samping tahu banyak tentang sejarah yang penuh sihir dan mitos). Namun, seperti biasa, aku dan Riley bakal cukup persuasif untuk mengubah pendiriannya.

Aku mematikan internet dan laptopku, lalu bergerak untuk mengambil senter dan sarung tangan. Kalau kami akan kembali mencari buku itu, lebih baik bersiap-siap.

Thursday, March 19, 2009

Pagi yang Mengejutkan

"Rovi, bangun! Matahari sudah tinggi! Bangun! Bantu Ibu, Rovi! Cepat!" teriak Ibu sambil berusaha menarik selimut yang menutupi wajahku.

Dengan sekuat tenaga aku menahan selimutku tetap menutupi wajahku yang masih sangat mengantuk.

"ROVI!!!!!!!!!!!" teriak Ibu sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Pikiran inginnya bangun, tapi badan terlalu lelah. Kemarin sepanjang hari aku membantu Ibu, mulai dari memasak, membantu membawakan makanan ayah ke ladang, sampai mencuci baju di sungai Nil. Kalau kuingat-ingat lagi, sepertinya itulah rutinitasku setiap hari...

"ROVI!!! Bangun! Anak gadis jangan bangun siang-siang! Cepat bangun atau Ibu akan membuang Recca," ancam Ibu yang langsung mempan.

Aku langsung terduduk di tempat tidurku. Aku langsung membuka mataku lebar-lebar dan tersenyum semanis yang kubisa.

"Senyummu jelek sekali Rovi. Cepat mandi dan rapikan dirimu. Ibu tunggu di dapur," perintah Ibu.

Aku hanya menjawab dengan anggukan sambil mengawasi Ibu berjalan keluar dari pintu. Begitu aku melihat Ibu berbelok di depan pintu kamarku, aku hendak merebahkan badanku lagi di kasur. Rasanya masih mengantuk...

"Rovi! Jangan coba-coba tidur lagi!"

"Baik, Ibu.." jawabku, menyerah.

Dengan berat hati aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan menuju lemari pakaian. Di kaca yang terletak pada pintu lemari itu, wajah coklat kebangaanku tampak kusam. Rambutku yang keriting...

"Tidak... Aku harus segera mencari minyak rambut baru! Rambutku... Rambutku bertambah keriting! Apa-apaan ini? Kenapa rambutku jadi kering? Tidak!" aku memekik.

Gawat. Rambut hitam kebangaanku semakin aneh. Sepertinya aku memang harus segera mandi dan merapikan diri. Bukan untuk Recca, juga bukan untuk Ibu, tapi demi rambutku yang sudah berantakan. Rambut adalah mahkota wanita...

"Rovi! Jangan teriak-teriak terus! Cepat mandi!" teriakan Ibu terdengar dari arah dapur.

"Iya, segera!" balasku.

Monday, March 16, 2009

The Beginning

Buku itu tanpa judul. Sampul kulit keemasan yang membungkusnya sudah mengelupas, halaman-halamannya juga sudah kuning termakan usia. Aku membalik-baliknya dengan hati-hati – takut buku itu akan hancur jadi debu kalau aku terlalu kasar – bertanya-tanya kenapa buku setua ini ada di ruang bawah tanah rumahku. Bahkan dengan penerangan payah ruangan ini dan tanpa kacamata, aku bisa melihat bahwa tidak ada satu abjad pun di dalam buku ini, yang ada hanya sederet gambar-gambar yang biasa ada di dinding-dinding piramida, seperti di film-film. Apa namanya? Pictograph?

Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat apa yang pernah diceritakan Cecilia tentang kebudayaan Mesir. Aku enggak bisa ingat satu pun. Aneh, padahal dia sudah cerita berkali-kali tentang itu. Dan aku juga biasanya mendengarkan. Yah, sudahlah, nanti toh aku bisa telepon dia. Orangtuanya kan arkeolog, mereka pasti bisa menerjemahkan buku ini.

Wajar kalau aku enggak pernah melihat buku ini, karena aku memang enggak suka turun ke ruangan ini. Aku enggak suka ruangan gelap-gelap, dan debunya minta ampun. Aku cuma ke bawah sini karena mau mencari buku-buku pelajaran lamaku yang sudah disimpan di sini. Tapi sejak kapan orangtuaku tertarik pada kebudayaan Mesir? Nonton National Geographic aja enggak pernah. Lagi pula, mana mungkin Mama – orang paling rapi di rumah ini – bakal membiarkan buku seantik ini tergeletak begitu saja di sini, di mana kemungkinan kutu buku bisa hidup?

Terdorong rasa penasaran, aku terus membaca, mengabaikan debu mulai berkumpul di ujung-ujung jariku. Di sana sini halamannya sudah mulai menipis, hampir sobek. Untuk kesekian kalinya, aku berharap aku seimajinatif Riley. Dia pasti bisa menyusun suatu cerita dari gambar-gambar ini. Buatku gambar-gambar ini sama sekali enggak nyambung, tidak peduli seberapa keras aku mengerahkan imajinasiku.

Ada beberapa gambar yang terus diulang-ulang: gambar seorang cewek dengan rambut hitam legam dan kulit coklat khas orang Mesir. Aku rasa dia tokoh utama buku ini, meskipun aku enggak yakin buku ini buku cerita. Ada juga gambar seekor binatang, tapi hampir semua gambarnya kabur, entah karena tertutup debu atau memang gambarnya tipis.

Karena mataku mulai berair gara-gara kurangnya cahaya, aku menutup buku itu dengan lembut. Untuk sesaat aku ragu. Haruskah aku meninggalkannya di sini? Sayang sekali rasanya, dan aku masih penasaran ini. Mama sedang pergi, dan Vanya juga enggak di rumah. Enggak ada salahnya kalau aku bawa ini ke kamar. Lagipula aku mau menunjukkannya pada Cecilia dan Riley. Kalau buku ini ditaruh di sini, harusnya tidak ada artinya lagi buat Mama kan?

Ya, kurasa enggak akan ada yang keberatan kalau aku pinjam sebentar.